RSS

Selasa, 23 Januari 2018

Kualitas Seseorang Bisa dilihat dari Tutur Katanya

Hampir setahun yang lalu diskusi ini sempat terjadi. Pastinya kapan aku kurang mengingatnya. Jelasnya, kami berdua terlibat pembicaraan selama 3 jam terkait masalah ilmu kebahasaan dan psikologi kognitif. Iya, aku dan mas Lukman yang terlibat dalam diskusi ini. Beliau mengkaji dari sudut pandang ilmu kebahasaan dan kaitannya dengan kognitif sedangkan aku mengkaji dari sudut pandang psikologi kognitif. Sejujurnya, agak sedikit kurang tepat kalau kami menggunakan kata "mengkaji" karena notabenenya ilmu kami masih sebesar bijij jagung. Tapi, ya tidak masalah juga sih, supaya ada pertukaran sudut pandang sehingga pemikiran juga jadi lebih terbuka.

Diskusi ini terjadi karena lontaran kata-kataku, "Sebenarnya para ahli linguis itu fungsinya untuk apa sih?", "Memangnya banyak kah lapangan pekerjaan untuk para lulusan sarjana/magister linguistik?" Bagiku kalimat ini terdengar sangat sederhana. Tapi bagi beliau yang notabenanya sebagai lulusan magister linguistik seolah ini adalah kalimat yang terdengar sarkasme. Beliau kemudian melanjutkan pertanyaan, "Memangnya, lulusan sarjana/magister kependidikan sudah pasti setelah lulus kemudian mendapatkan pekerjaan?", "Berapa persen teman kamu lulusan sarjana pendidikan yang sudah mendapat lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya?". *kata-katanya membuat tubuhku seperti ada pisau yang terhujam ke dalamnya. Kemudian beliau melanjutkan, hati-hati dengan perkataanmu.

Apakah readers pernah mendengar peribahasa atau pepatah atau sejenisnya lah terkait "Salah satu cara melihat kualitas suatu bangsa/negara adalah dari tutur bahasanya". Terdengar sangat sederhana memang. Tapi kalau dikaji secara keilmuan, ternyata sangat luas pembahasannya. Mas Lukman melontarkan beberapa pertanyaan kepadaku, "Pernah tidak kamu memberikan komentar di suatu forum? Kemudian apa yang terjadi?" Aku hanya diam. Beliau melanjutkan, "Coba lihat reaksi para pendengar, pasti sangat beragam. Padahal mungkin komentarmu tidak pro dan tidak kontra. Tapi sebagian pendengar sudah ada yang mencak-mencak alias panas dan menggebu-gebu untuk membantah komentarnya kamu. Malah yang paling parah, ada yang membalas komentar yang topiknya sangat jauh berbeda. Menurut kamu kenapa hal itu terjadi?". aku pun menjawab, ya karena mereka ga setuju dan orang yang tingkat emosionalnya masih sangat rendah. Beliau mengangguk-angguk dan melanjutkan, "Benar. Ada alasan lain lagi yaitu tingkat linguis-kognitif masyarakat kita masih di bawah rata-rata. Mungkin kamu bakal nanya lagi, maksudnya gimana sih. Masyarakat kita cepat tersulut emosi hanya karena sebuah kata-kata yang tidak mereka cerna dengan baik. Contohnya, suatu kata akan sangat berbeda ada dua orang sejoli yang sedang jatuh cinta dan salah satunya bilang 'aku lagi kangen'. Secara linguistik, ya dia kangennya cuma saat itu aja, besok-besok udah ga kangen dong. Nanti indikasinya si pasangan adalah orang yang ga setia, kangennya cuma saat itu doang, besoknya ga kangen lagi. hehehe.

Terus, kamu membuat komentar lain lagi "miris sekali ya orang indonesia hanya bisa jadi kuli di negaranya sendiri". Bagi sebagian orang akan marah ga jelas, mereka malah menimpali komentarmu, 'eh, bego lu yah, emang bisa 200 juta manusia di Indonesia jadi bos semua'. Coba deh kalau orang yang menimpali komentar kamu itu lebih cermat, kamu kan ga bilang kata 'semua orang Indonesia" atau 'beberapa', atau 'sebagian'. Tapi kenapa ada yang sampe marah-marah gitu ya membalas komentarnya? Jawabannya, karena tingkat kognitif linguis mereka rendah. mereka ga punya pengetahuan/kognitif tentang ilmu tersebut. Hal inilah yang menyebabkan seringnya ada perseteruan yang ujung-ujungnya jadi kurang berfaedah, padahal ga ada masalah kan di awalnya?

Aku menambahi, "iya juga ya mas. Makanya ya, kualitas bangsa dilihat dari tutur bahsanya juga bisa kelihatan yaaa.. Itulah kenapa LPDP menyekolahkan putra-putri bangsa, karena di tahun 2030 Indonesia akan dapat bonus demografi. Supaya masyarakatnya sekolah tinggi dan akan membangun negeri, menggali ilmu sehingga bukan menambah permasalahan dengan berkomentar aja tapi juga menemukan solusi. Mengacu data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2016, lebih dari satu juta anak putus sekolah pada jenjang sekolah dasar (SD) dan tak melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Jika digabung antara yang tidak tamat SD-SMP, maka ada sekitar 4,3 juta anak yang tak mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun. Sehingga hampir 40% masyarakat Indonesia sekarang yang bekerja adalah tamatan SD-SMP. Dengan disekolahkannya oleh LPDP, maka nanti di tahun 2030 akan ada stok masyarakat berkualitas". 

Salah satu yang membuat masyarakat jadi terlalu bebas adalah kesalahpahaman dalam menyikapi arti demokrasi dan HAM. Masyarakat kita jadi seenaknya mengeluarkan pendapat tanpa memikirkan kata-kata yang mereka keluarkan. Masyarakat Indonesia harus lebih banyak membaca buku atau e-book yang bisa menambah wawasan dan meningkatkan kognitif moral mereka. Salah satu peran para linguis adalah mengajarkan hal ini kepada masyarakat kita. Para linguis juga berperan dalam menganalisis kalimat dalam Undang-Undang atau peraturan-peraturan agar tidak bermakna ambigu. Jika makna kalimatnya ambigu maka efeknya adalah jika ada pelanggaran hukum di masa yang akan datang maka tidak kecil kemungkinan hukum akan menjadi kabur kan? Jadi sebenarnya kata-kata itu sangat besar efeknya. Kasus Ahok, masih ingat? Para linguis forensik diundang untuk menganalisis kalimat yang dilontarkan oleh Ahok terkait makna dari kalimat tersebut. Pertanyaan lagi, kenapa sekarang bangsa kita makin kacau, jawabannya ya karena media, sedikit saja media buat tagline agak miring, pasti banyak yang minat baca. Ya karena jaman now, ya itu yang jadi daya tarik pembaca. Judul-judul yang nyeleneh, isinya bener atau kagak ya gatau. Makanya jaman sekarang pinter dalam memfilter bahan bacaan dari media." Aku kemudian menambahi, "Kalau tidak saintific approach, ya ga usa percaya 100 persen kali ya mas, dan berarti  sebenarnya peran atau pekerjaan linguis itu sangat luas dan aplikatif ternyata yaaa".

Diskusi masih terus berlanjut sangat panjang, banyak yang masih ingin dituliskan, tapi aku harus bersiap ke kampus. See you...

0 komentar: