RSS

Sabtu, 22 Juli 2017

Tiket Menuju Jannah-Nya

Menikah bukanlah sebuah perlombaan, tapi menikah adalah perkara menunaikan setengah agama.
Menikah bukanlah siapa yang menang dan siapa yang kalah, tapi menikah adalah perkara siapkah berbagi suka dan duka dengan pasangan hidupmu nanti.
Menikah bukanlah tentang ingin mengumbar foto mesra di sosmed karena sudah halal, tapi menikah adalah awal membangun sebuah rumah tangga yang harmonis tanpa perlu diumbar.
Menikah bukanlah permainan yang hanya 1 atau 2 jam saja dimainkan, tapi menikah adalah bagaimana engkau menghabiskan seluruh sisa hidupmu hanya dengan bersama satu orang saja, berbagi dengan anak-anakmu, dan seumur hidup bahkan hingga surga-Nya.

Hasil gambar untuk marriage is not a game

Banyak juga orang yang khawatir saat melihat orang lain menikah. Saat undangan datang ke tangan kita, tidak jarang hati kita berdesir merasa ingin pula menikah. Eits, tapi tunggu dulu! Apa iya kita benar-benar ingin menikah? Coba kembali kita tanya, kenapa kita ingin menikah? Jika orang bilang, ngapain banyak pertimbangan untuk menikah, toh rezeki sudah Allah yang mengatur. Benar sekali! Saya setuju kok rezeki itu Allah yang atur. Tapi tunggu dulu. Apa iya rezeki datang begitu saja tanpa ada ikhtiar dan doa? Apa iya rezeki akan datang jika nanti ketika menikah justru pasangan kita malah enggan berikhtiar untuk mencari rezeki bersama? Tentu tidak. Tidak mungkin yang namanya rezeki nomplok tanpa adanya ikhtiar dan doa yang kuat.

Hasil gambar untuk marriage

Aku di usia yang menuju 25, yang katanya usia ideal untuk menikah. Aku kurang tau kenapa disebutnya ideal. Sejujurnya, aku sendiri memang ingin menikah. Banyak teman-teman yang seangkatanku sudah menikah. Tapi aku berpikir kembali dan ingin meluruskan niat lagi. Apa iya aku sudah siap menikah? Apa iya ilmu ku sudah cukup nanti ketika menikah? Apakah ilmu ku sudah cukup untuk mendidik anak-anakku nanti? Bukankah madrasah pertama seorang anak adalah ibu? Aku sangat ingin anak-anakku nanti menjadi anak yang soleh, cerdas dan berguna bagi agama serta orang di sekitarnya. Begitu ingin menjadi ibu yang nanti menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sudahkah aku menjadi orang yang tidak egois, ingin menang sendri, dan mendengarkan orang lain? Bukankah ketika menikah aku akan hidup dengan orang lain? Biasanya aku sesuka hati keluar rumah, membeli ini dan itu semauku, yahh.. sesukanya.. Tapi bukankah menikah aku harus siap untuk berbagi dengan suamiku? Keluar rumah juga harus dengan seiizinnya, keuangan harus dikontrol karena pasti banyak kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan anak, tidak boleh egois karena kehidupan menikah adalah berbagi dan membangun sebuah rumah tangga (read: organisasi kecil menuju Jannah). Tentu jika ingin menjadi rumah tangga yang maju, visi dan misi anggotanya haruslah disamakan dulu, program kerjanya apa saja, goals yang ingin dicapai apa, dan tentu ada bagian keuangan. Banyak lagi hal yang harus dihandle bersama, bukan malah sendiri-sendiri.

Hasil gambar untuk marriage


Bagiku, menikah bukan berarti aku berhenti menjadi seseorang yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Aku tetap ingin menjadi sosok yang bermanfaat bagi keluarga kecilku nanti dan orang di sekitarku. Aku ingin menikah bukanlah menjadi penghalang untukku dalam beribadah kepada Allah, tidak sedikit suami yang melarang istri atau kesal melihat istri yang ingin beribadah. Aku ingin menikah bukanlah menjadi penghambat karyaku di masyarakat. Tidak sedikit suami yang melarang istri untuk berkarya dan bermanfaat bagi orang sekitarnya. Tapi tunggu dulu, bisa jadi wanita kebablasan di luar. Nah ini dia, yang ingin pula aku tidak seimbangkan, aku ingin 70% bisa mengabdi dan memberikan perhatian penuh bagi keluarga kecilku dan 30% berkarya dan bermanfaat bagi orang di sekitarku. Pastilah tidak mudah. TENTU! kenapa? Tiket menuju syurga sangat banyak loh dalam berumah tangga atau setelah menikah. Oleh karena itu, dalam menjalani rumah tangga pasti banyak cobaan-cobaan hidup yang akan dihadirkan Allah, membutuhkan kesabaran yang luar biasa, dan menguji ketahanan serta kesetiaan bagi kedua pasangan. Tiket ke Jannah-Nya Allah itu mahal, pasti butuh energi besar untuk mendapatkannya.


Ah,, memikirkan hal seperti ini, membuatku bahagia. Tapi aku harus segera bergegas memperbaiki akhlak dan mencukupkan bekal dan ilmu untuk menuju pintu pengambilan tiket ke Jannah Allah. Semoga aku dan para pembaca segera menuju pintu pengambilan tiket dan mendapatkan tiket menuju Jannah Allah yaaa...

Hasil gambar untuk marriage is not a game

Semoga bermanfaat.

Senin, 17 Juli 2017

Belajar Menghargai Proses

Aceh, Juli 2017

Lama sudah tidak menulis di blog dikarenakan kegiatan akhir studi yang semakin menyita waktu. Ditambah lagi pengerjaan proposal tesis yang harus segera dirampungkan. Kali ini ada sedikit yang ingin dibagikan, kurang tau lebih tepatnya dikatakan ilmu parenting atau hanya berbagi pengalaman. Mungkin nanti para pembaca bisa menyimpulkan sendiri, bagian terpenting adalah semoga menjadi bacaan yang bermanfaat, mampu menginspirasi dan bisa mengubah pola pikir menjadi lebih baik.

Meskipun saya belum melakukan survei secara resmi, beberapa orang dari teman saya, beberapa orang tua, guru dan masyarakat sekitar, saya ingin mengatakan bahwa “belajarlah menghargai proses” adalah hal yang ternyata begitu penting.

Kasus 1.
Mungkin teman-teman pernah melihat atau mendengar orang tua yang mengatakan “berapa nilai ulanganmu tadi di sekolah, nak?”. Secara ilmu kebahasaan saya tidak mampu mengartikannya secara mendalam. Namun saya melihat bahwa konteks kalimat tersebut ingin mendapat jawaban ‘nilai’ yang didapat, tanpa maksud menanyakan bagaimana proses si anak menjawab soal, apakah ada soal yang tidak bisa diselesaikan, apakah waktu pengerjaan soal ulangan cukup, apakah si anak konsentrasi saat menjawab soal. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini luput dari perhatian orang tua. Sehingga efeknya, bisa jadi suatu saat nanti, si anak akan mendapat nilai yang bagus tapi proses mendapatkan jawabannya melalui ‘menghalalkan segala cara’, contoh sederhana saja dengan menyontek atau melakukan hal curang dalam bentuk lainnya. Kenapa demikian? Si anak akan mempunyai pola pikir, ‘toh, orang tua hanya akan menanyakan berapa nilai yang saya dapat, bukan bagaimana cara saya mendapatkan nilai’. Tentu akan sangat berbahaya jika anak mencoba mendapatkan cara dengan tindakan curang seperti menyontek, mengancam temannya agar memberikan jawaban, atau hal lain yang menurut si anak halal untuk dilakukan.

Kasus 2.
Mungkin dalam pergaulan sehari-hari dengan teman sebaya sering kita menanyakan secara sadar atau tidak dalam hal “sudah kerja dimana sekarang?”, atau “sudah menikah?”. Memang sangat sederhana. Tapi sering luput dari perhatian kita untuk menanyakan terlebih dahulu bagaimana kabarnya, apa saja kegiatan saat ini, bagaimana perkembangan kegiatannya, bagaimana dengan pekerjaan, apa yang bisa dibantu untuk mendapatkan pekerjaan, apa yang harus saya bantu agar segera bertemu dengan jodohnya. Kita sering luput bahwa sebenarnya teman kita mungkin butuh bantuan. Kita kurang menghargai proses bagaimana teman kita dalam hal mencari pekerjaan dan jodoh, malah langsung ingin tahu apa jenis pekerjaannya dan siapa jodohnya. Kita jarang sekali menanyakan apa yang perlu kita bantu untuk mereka.

Hal lain yang juga seringkali terjadi, “eh dia kok penampilannya kuno begitu ya? Ga modis, ga fashionable, atau wajahnya dia berjerawat banget ya, berminyak lagi” atau “jilbabnya lebar tapi kok pelit ya kurang sedekah, amalannya masih begitu-begitu saja, malah pacaran lagi” atau “dengar-dengar dia mau menikah ya? Menyiangi ikan saja belum pandai, palingan juga bisanya masak air dan indomie saja”. Jarang sekali kita mendengar, “eh, aku tau loh pasar atau onlineshop yang menjual baju-baju yang bagus tapi dengan harga murah, mungkin kamu bisa coba lihat-lihat, biar penampilanmu jadi makin kece”, atau “by the way, kemarin aku dapat pesan whatsapp kalau di mesjid agung bakalan ada kajian rutin tentang problematika remaja, loh. Kita dateng yuk, pergi bareng yuk” atau “solat dhuha bareng yuk” atau “aku dengar sedang ada penggalangan dana nih buat yatim piatu/korban bencana alam. Kita bantu yuk, biar nambah amalan persiapan tiket ke surga” atau “Aku dapat kabar kalau kamu mau menikah ya? Aku punya kenalan yang buka kursus masak loh, mungkin kamu bisa daftar di sana. Nambah ilmu tentang memasak supaya suami makin lengket di rumah. Hihi”. Kalimat-kalimat di atas sering lupa kita gunakan dalam pergaulan. Kebanyakan kita hanya ingin mengetahui hasil tanpa membantu proses atau melihat proses di balik semua kejadian.

Kasus 3.
Hal ini sering terjadi jika seorang anak gadis akan menikah. Akan banyak pertanyaan-pertanyaan seperti, “memang sudah siap menikah? masih muda sekali kok sudah menikah. Memang sudah bisa apa? Sudah bisa masak belum? Masak sayur saja tidak bisa, mau dikata-katain sama mertua ya dengan kemampuan masak yang begitu? Sudah ada pekerjaan belum kalau-kalau nanti suami meninggal, anakmu mau dikasi makan apa? Calon suamimu kerjanya apa?” Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang sering dilontarkan oleh orang tua atau tetangga-tetangga yang sudah tua. Mungkin hal ini dikarenakan kekhawatiran orang tua yang tidak ingin anaknya hidup susah. Memang benar, akan tetapi bukan berarti langsung meminta hasil ‘jadi’. Kalau menunggu umur siap, tidak akan ada siap-siapnya. Kita selalu akan berpikir tidak siap. Justru harusnya kita memikirkan, bagaimana menyiapkannya. Tentu manusia tidak ada yang sempurna dan ahli dalam semua hal. Hendaknya orang tua membimbing anaknya agar menjadi istri yang baik dan taat pada suami jika menikah nanti bukan malah memborbardir dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin menciutkan mental si anak. Jika anak gadisnya tidak bisa memasak, hendaknya orang tua menawarkan ‘bagaimana jika sebulan sebelum menikah, kamu kursus memasak dulu dengan ibu, supaya suami tidak sering makan di luar, anak-anakmu nanti tidak jajan di luar dan bisa hemat pengeluaran keluarga. Pasti nanti suamimu makin senang punya istri yang pintar masak dan pintar mengelola keuangan rumah tangga’ atau ‘sudah punya buku parenting? Sepertinya kita perlu ke toko buku untuk membelinya. Kamu harus persiapan dari sekarang, loh. Nanti ibu atau ayah temani ya ke toko bukunya.’ Kalimat-kalimat ini jarang sekali kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga kasus di atas, saya rasa cukup sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering luput dalam hal melihat proses yang terjadi namun lebih sering menginginkan sesuatu yang sudah ‘instan’ dan ingin mendapatkan hasil yang langsung baik atau berhasil. Mana mungkin sesuatu yang berhasil dan baik didapat hanya dengan simsalabim abrakadabra. Akan tetapi, tentu melalui suatu proses.

Ada beberapa hal bisa saya sarankan agar kita menjadi seseorang yang mampu menghargai proses;
1. Positive thinking. Tanamkan bahwa apapun yang terjadi dengan pemikiran yang positif terlebih dahulu.
2. Hindari memberikan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang bertanya tanpa maksud atau basa-basi, negatif atau bersifat meremehkan karena hany akan buang-buang energi. Sebaiknya energi disimpan untuk hal berguna lainnya.
3. Pilih kembali pertanyaan atau pernyataan yang akan dilontarkan.
4. Ganti kata-kata negatif dengan kata-kata positif. Mungkin bisa dimulai dengan “bagaimana proses ini.. itu..”, “apakah ada yang bisa saya bantu untuk menyelesaikan masalahmu?” atau dengan beberapa kalimat yang sebelumnya sudah saya sebutkan pada setiap kasus.


Yuk, mulai dari sekarang belajar menghargai proses. Semoga tulisan ini bermanfaat.