Menikah bukanlah sebuah perlombaan, tapi menikah adalah perkara menunaikan setengah agama.
Menikah bukanlah siapa yang menang dan siapa yang kalah, tapi menikah adalah perkara siapkah berbagi suka dan duka dengan pasangan hidupmu nanti.
Menikah bukanlah tentang ingin mengumbar foto mesra di sosmed karena sudah halal, tapi menikah adalah awal membangun sebuah rumah tangga yang harmonis tanpa perlu diumbar.
Menikah bukanlah permainan yang hanya 1 atau 2 jam saja dimainkan, tapi menikah adalah bagaimana engkau menghabiskan seluruh sisa hidupmu hanya dengan bersama satu orang saja, berbagi dengan anak-anakmu, dan seumur hidup bahkan hingga surga-Nya.
Banyak juga orang yang khawatir saat melihat orang lain menikah. Saat undangan datang ke tangan kita, tidak jarang hati kita berdesir merasa ingin pula menikah. Eits, tapi tunggu dulu! Apa iya kita benar-benar ingin menikah? Coba kembali kita tanya, kenapa kita ingin menikah? Jika orang bilang, ngapain banyak pertimbangan untuk menikah, toh rezeki sudah Allah yang mengatur. Benar sekali! Saya setuju kok rezeki itu Allah yang atur. Tapi tunggu dulu. Apa iya rezeki datang begitu saja tanpa ada ikhtiar dan doa? Apa iya rezeki akan datang jika nanti ketika menikah justru pasangan kita malah enggan berikhtiar untuk mencari rezeki bersama? Tentu tidak. Tidak mungkin yang namanya rezeki nomplok tanpa adanya ikhtiar dan doa yang kuat.
Aku di usia yang menuju 25, yang katanya usia ideal untuk menikah. Aku kurang tau kenapa disebutnya ideal. Sejujurnya, aku sendiri memang ingin menikah. Banyak teman-teman yang seangkatanku sudah menikah. Tapi aku berpikir kembali dan ingin meluruskan niat lagi. Apa iya aku sudah siap menikah? Apa iya ilmu ku sudah cukup nanti ketika menikah? Apakah ilmu ku sudah cukup untuk mendidik anak-anakku nanti? Bukankah madrasah pertama seorang anak adalah ibu? Aku sangat ingin anak-anakku nanti menjadi anak yang soleh, cerdas dan berguna bagi agama serta orang di sekitarnya. Begitu ingin menjadi ibu yang nanti menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sudahkah aku menjadi orang yang tidak egois, ingin menang sendri, dan mendengarkan orang lain? Bukankah ketika menikah aku akan hidup dengan orang lain? Biasanya aku sesuka hati keluar rumah, membeli ini dan itu semauku, yahh.. sesukanya.. Tapi bukankah menikah aku harus siap untuk berbagi dengan suamiku? Keluar rumah juga harus dengan seiizinnya, keuangan harus dikontrol karena pasti banyak kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan anak, tidak boleh egois karena kehidupan menikah adalah berbagi dan membangun sebuah rumah tangga (read: organisasi kecil menuju Jannah). Tentu jika ingin menjadi rumah tangga yang maju, visi dan misi anggotanya haruslah disamakan dulu, program kerjanya apa saja, goals yang ingin dicapai apa, dan tentu ada bagian keuangan. Banyak lagi hal yang harus dihandle bersama, bukan malah sendiri-sendiri.
Bagiku, menikah bukan berarti aku berhenti menjadi seseorang yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Aku tetap ingin menjadi sosok yang bermanfaat bagi keluarga kecilku nanti dan orang di sekitarku. Aku ingin menikah bukanlah menjadi penghalang untukku dalam beribadah kepada Allah, tidak sedikit suami yang melarang istri atau kesal melihat istri yang ingin beribadah. Aku ingin menikah bukanlah menjadi penghambat karyaku di masyarakat. Tidak sedikit suami yang melarang istri untuk berkarya dan bermanfaat bagi orang sekitarnya. Tapi tunggu dulu, bisa jadi wanita kebablasan di luar. Nah ini dia, yang ingin pula aku tidak seimbangkan, aku ingin 70% bisa mengabdi dan memberikan perhatian penuh bagi keluarga kecilku dan 30% berkarya dan bermanfaat bagi orang di sekitarku. Pastilah tidak mudah. TENTU! kenapa? Tiket menuju syurga sangat banyak loh dalam berumah tangga atau setelah menikah. Oleh karena itu, dalam menjalani rumah tangga pasti banyak cobaan-cobaan hidup yang akan dihadirkan Allah, membutuhkan kesabaran yang luar biasa, dan menguji ketahanan serta kesetiaan bagi kedua pasangan. Tiket ke Jannah-Nya Allah itu mahal, pasti butuh energi besar untuk mendapatkannya.
Ah,, memikirkan hal seperti ini, membuatku bahagia. Tapi aku harus segera bergegas memperbaiki akhlak dan mencukupkan bekal dan ilmu untuk menuju pintu pengambilan tiket ke Jannah Allah. Semoga aku dan para pembaca segera menuju pintu pengambilan tiket dan mendapatkan tiket menuju Jannah Allah yaaa...
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar