Aceh, Juli 2017
Lama sudah tidak menulis di blog
dikarenakan kegiatan akhir studi yang semakin menyita waktu. Ditambah lagi
pengerjaan proposal tesis yang harus segera dirampungkan. Kali ini ada sedikit
yang ingin dibagikan, kurang tau lebih tepatnya dikatakan ilmu parenting atau
hanya berbagi pengalaman. Mungkin nanti para pembaca bisa menyimpulkan sendiri,
bagian terpenting adalah semoga menjadi bacaan yang bermanfaat, mampu menginspirasi
dan bisa mengubah pola pikir menjadi lebih baik.
Kasus
1.
Mungkin teman-teman pernah melihat atau
mendengar orang tua yang mengatakan “berapa nilai ulanganmu tadi di sekolah,
nak?”. Secara ilmu kebahasaan saya tidak mampu mengartikannya secara mendalam.
Namun saya melihat bahwa konteks kalimat tersebut ingin mendapat jawaban
‘nilai’ yang didapat, tanpa maksud menanyakan bagaimana proses si anak menjawab
soal, apakah ada soal yang tidak bisa diselesaikan, apakah waktu pengerjaan
soal ulangan cukup, apakah si anak konsentrasi saat menjawab soal.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini luput dari perhatian orang tua. Sehingga
efeknya, bisa jadi suatu saat nanti, si anak akan mendapat nilai yang bagus
tapi proses mendapatkan jawabannya melalui ‘menghalalkan segala cara’, contoh
sederhana saja dengan menyontek atau melakukan hal curang dalam bentuk lainnya.
Kenapa demikian? Si anak akan mempunyai pola pikir, ‘toh, orang tua hanya akan
menanyakan berapa nilai yang saya dapat, bukan bagaimana cara saya mendapatkan
nilai’. Tentu akan sangat berbahaya jika anak mencoba mendapatkan cara dengan
tindakan curang seperti menyontek, mengancam temannya agar memberikan jawaban,
atau hal lain yang menurut si anak halal untuk dilakukan.
Kasus 2.
Mungkin dalam pergaulan sehari-hari dengan
teman sebaya sering kita menanyakan secara sadar atau tidak dalam hal “sudah
kerja dimana sekarang?”, atau “sudah menikah?”. Memang sangat sederhana. Tapi
sering luput dari perhatian kita untuk menanyakan terlebih dahulu bagaimana
kabarnya, apa saja kegiatan saat ini, bagaimana perkembangan kegiatannya,
bagaimana dengan pekerjaan, apa yang bisa dibantu untuk mendapatkan pekerjaan,
apa yang harus saya bantu agar segera bertemu dengan jodohnya. Kita sering
luput bahwa sebenarnya teman kita mungkin butuh bantuan. Kita kurang menghargai
proses bagaimana teman kita dalam hal mencari pekerjaan dan jodoh, malah
langsung ingin tahu apa jenis pekerjaannya dan siapa jodohnya. Kita jarang
sekali menanyakan apa yang perlu kita bantu untuk mereka.
Hal lain yang juga seringkali terjadi, “eh
dia kok penampilannya kuno begitu ya? Ga modis, ga fashionable, atau wajahnya dia
berjerawat banget ya, berminyak lagi” atau “jilbabnya lebar tapi kok pelit ya
kurang sedekah, amalannya masih begitu-begitu saja, malah pacaran lagi” atau
“dengar-dengar dia mau menikah ya? Menyiangi ikan saja belum pandai, palingan
juga bisanya masak air dan indomie saja”. Jarang sekali kita mendengar, “eh,
aku tau loh pasar atau onlineshop yang menjual baju-baju yang bagus tapi dengan
harga murah, mungkin kamu bisa coba lihat-lihat, biar penampilanmu jadi makin
kece”, atau “by the way, kemarin aku dapat pesan whatsapp kalau di mesjid agung
bakalan ada kajian rutin tentang problematika remaja, loh. Kita dateng yuk,
pergi bareng yuk” atau “solat dhuha bareng yuk” atau “aku dengar sedang ada
penggalangan dana nih buat yatim piatu/korban bencana alam. Kita bantu yuk,
biar nambah amalan persiapan tiket ke surga” atau “Aku dapat kabar kalau kamu
mau menikah ya? Aku punya kenalan yang buka kursus masak loh, mungkin kamu bisa
daftar di sana. Nambah ilmu tentang memasak supaya suami makin lengket di
rumah. Hihi”. Kalimat-kalimat di atas sering lupa kita gunakan dalam pergaulan.
Kebanyakan kita hanya ingin mengetahui hasil tanpa membantu proses atau melihat
proses di balik semua kejadian.
Kasus
3.
Hal ini sering terjadi jika seorang anak
gadis akan menikah. Akan banyak pertanyaan-pertanyaan seperti, “memang sudah
siap menikah? masih muda sekali kok sudah menikah. Memang sudah bisa apa? Sudah
bisa masak belum? Masak sayur saja tidak bisa, mau dikata-katain sama mertua ya
dengan kemampuan masak yang begitu? Sudah ada pekerjaan belum kalau-kalau nanti
suami meninggal, anakmu mau dikasi makan apa? Calon suamimu kerjanya apa?”
Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang sering dilontarkan oleh orang tua
atau tetangga-tetangga yang sudah tua. Mungkin hal ini dikarenakan kekhawatiran
orang tua yang tidak ingin anaknya hidup susah. Memang benar, akan tetapi bukan
berarti langsung meminta hasil ‘jadi’. Kalau menunggu umur siap, tidak akan ada
siap-siapnya. Kita selalu akan berpikir tidak siap. Justru harusnya kita
memikirkan, bagaimana menyiapkannya. Tentu manusia tidak ada yang sempurna dan
ahli dalam semua hal. Hendaknya orang tua membimbing anaknya agar menjadi istri
yang baik dan taat pada suami jika menikah nanti bukan malah memborbardir
dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin menciutkan mental si anak. Jika anak
gadisnya tidak bisa memasak, hendaknya orang tua menawarkan ‘bagaimana jika
sebulan sebelum menikah, kamu kursus memasak dulu dengan ibu, supaya suami
tidak sering makan di luar, anak-anakmu nanti tidak jajan di luar dan bisa
hemat pengeluaran keluarga. Pasti nanti suamimu makin senang punya istri yang
pintar masak dan pintar mengelola keuangan rumah tangga’ atau ‘sudah punya buku
parenting? Sepertinya kita perlu ke toko buku untuk membelinya. Kamu harus persiapan
dari sekarang, loh. Nanti ibu atau ayah temani ya ke toko bukunya.’
Kalimat-kalimat ini jarang sekali kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga kasus di atas, saya rasa cukup
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering luput dalam hal melihat
proses yang terjadi namun lebih sering menginginkan sesuatu yang sudah ‘instan’
dan ingin mendapatkan hasil yang langsung baik atau berhasil. Mana mungkin
sesuatu yang berhasil dan baik didapat hanya dengan simsalabim abrakadabra.
Akan tetapi, tentu melalui suatu proses.
Ada beberapa hal bisa saya sarankan agar
kita menjadi seseorang yang mampu menghargai proses;
1. Positive thinking. Tanamkan bahwa apapun
yang terjadi dengan pemikiran yang positif terlebih dahulu.
2. Hindari memberikan pertanyaan-pertanyaan
dan pernyataan-pernyataan yang bertanya tanpa maksud atau basa-basi, negatif
atau bersifat meremehkan karena hany akan buang-buang energi. Sebaiknya energi
disimpan untuk hal berguna lainnya.
3. Pilih kembali pertanyaan atau pernyataan
yang akan dilontarkan.
4. Ganti kata-kata negatif dengan kata-kata
positif. Mungkin bisa dimulai dengan “bagaimana proses ini.. itu..”, “apakah
ada yang bisa saya bantu untuk menyelesaikan masalahmu?” atau dengan beberapa
kalimat yang sebelumnya sudah saya sebutkan pada setiap kasus.
Yuk, mulai dari sekarang belajar menghargai
proses. Semoga tulisan ini bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar